Minggu, 17 Februari 2008

Desain Cover Trika













Inilah dua rencana desain cover majalah TRIKA. Tentu masih sangat lentur dan terbuka terhadap koreksi dan masukan, bahkan pengubahan secara keseluruhan. Dikerjakan dengan software CorelDraw11, ukuran kotor (plus cress potong 0,5 cm) adalah tinggi 31 sm, lebar 22 cm. Ukuran bersih cover adalah tinggi 21 cm, lebar 30 cm. Klik pada gambar untuk memperbesar tampilan, kemudian klik kanan mouse, save as, untuk menyimpan. (Design by Mgr Hanz Pr, Uskup Emeritus. Proposed to Alkap Pasti)

Sabtu, 16 Februari 2008

MEMAHAMI MAKNA DAN KUASA SIMBOL

Judul Buku : Daya Kekuatan Simbol (The Power of Symbols)
Penulis : F.W Dillistone
Penerjemah : A. Widyamartaya
Penerbit : Kanisius Yogyakarta
Terbit : 2002, 236 halaman.


Manusia adalah animal symbolicum, demikian Professor Ernst Cassirer, yang menulis seri buku The Phylospohy of Symbolic Forms. Gerak kehidupan kebudayaan, menurutnya, tidak terlepas dari eksistensi simbol dan pemaknaan terhadapnya. Dalam perkembangannya hampir tidak mungkin masyarakat ada tanpa simbol-simbol—katakanlah bahasa, penunjuk jalan, lambang-lambang kebangsaan, partai, warna dan yang lain. Simbol karenanya menjadi entitas yang sangat penting dalam berbagai bidang ilmu, filsafat, sosiologi, kesenian dan bahkan budaya massa mutakhir
Keberadaan simbol tampil luar biasa sejak dahulu sampai sekarang. Di masa lalu. Ia menjadi bagian yang terpisahkan dari relasi manusia dengan keberadaan Yang Maha. Hari-hari ini, simbol telah menjadi istilah yang berkali-kali diungkapkan dan digunakan hampir begitu saja dalam dunia iklan, berita, pidato politik, prakiraann cuaca dan analisa ekonomi.
Keberadaan simbol serta kuasa yang dihadirkannya, serta penggunaannya yang makin luas belakangan, telah mendorong F.W Dillistone menulis buku Daya Kekuatan Simbol (The Power of Symbols) ini, yang terbit pertama kali tahun 1986. Penjelajahan dilakukannya terhadap karya Cassirer, The Phylosophy of Symbolic Forms, Paul Tillich, Four Quartets- nya TS Elliot dan beberapa penulis lain untuk memahami: apa itu symbol, bagaimana symbol berfungsi, bagaimana hubungan antara perasaan, bentuk, referen?
Buku ini terdiri dari tiga bahasan utama. Bagian pertama (terdiri 3 bab) mendiskuskian keberadaan simbol, serta masing-masing maknanya secara harfiah dan simbolis, serta menampilkan beberapa contoh bentuk-bentuk simbolis.
Keberadaan simbol berkaitan erat dengan kohesi sosial dan transformasi sosial. Salah satu sistem simbol yang penting adalah bahasa manusia. Namun para antropolog sosial juga telah mengajarkan kepada kita tentang gerak-gerik, penanda lain, dan juga gerak tubuih sebagai hal-hal yang mempunyai arti simbolis. (Ketika dalam sebuah sidang istimewa yang ‘mengadili’ presiden, seorang wakil presiden duduk menyamping seolah membelakangi presiden, sebuah pesan simbolis disampaikan dan dimaknai media dan umum: bahwa sang wakil telah ‘meninggalkan’ sang presiden).
Bahasan tentang makna simbol juga menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan tubuh, makanan, tanah, pakaian, terang dan gelap, api dan air serta darah dan kurban. Darah adalah fenomena menarik sebuah simbol yang menjadi jembatan kehidupan dan kematian. Semacam, perjuangan dan pembelaan yang terakhir, yang dalam kasus kita pernah diungkapkan misalnya lewat dukungan tanda tangan darah.
Selain menjelaskan gerak horizontal masyarakat, simbol juga berhubungan erat dengan kekuasaan dan atau Sang Pernguasa. Kasus pengibaran bendera Bintang Kejora (Papua), atau bendera RMS, baru-baru ini menunjukkan bagaimana symbol-simbol dimainkan dengan segala makna dan kuasanya. Atas nama simbol, tidak jarang orang rela mengorbankan dirinya. Lebih jauh, dalam hubungannya dengan Yang Maha, simbol—dalam bahasa Louis Macreice, adalah suatu “tanda tangan imanensi Allah”.
Dalam menghadirkan dirinya, simbol tidak terlepas dari gerak kehidupan manusia. Hanya saja. sebuah simbol melebihi tanda lahir dan terlihat arbriter untuk sebuah konsepsi yang abstrak, nilainya yang tinggi terletak dalam suatu substansi bersama ide yang disampaikan. Simbol memiliki maknanya sendiri, nilainya sendiri dan kemampuannya sendiri untuk memggerakkan kita. Daya kekuatan simbol adalah pada sifatnya yang emotif, yang merangsang orang untuk bertindak sebagai ciri hakikinya.

Menariknya, sebuah simbol memberikan ruang terbuka bagi publik untuk pemaknaanya. Berbeda dengan totaliarisme, simbol memerlukan keterbukaan-keterbukan penafsiran, dan karenanya menunjuk kepada kemungkinan-kemungkinan alternatif. Ia memberikan ruang bagi penafsiran-penafsiran, kekebebasan dan keterbukaan. Ungkapan-ungkapan simbolis pada dasarnya adalah jalan bagi manusia untuk menuju kekebasan berdaya cipta.
Bagain kedua mengulas secara menarik beberapa teori simbolisme yang menampilkan bahasan para ahli antropologi antropologi social, yakni Raymond Firth, Mary Douglas, Victor Turnerr dan Clifford Geerzt. Bahasan bagian ini juga dilengkapi dengan bahasan para filsouf, teolog dan sejarawan bentuk-bentuk agama, terutama yang berkaitan dengan agama Kristen.
Bagian ketiga membahas perjalanan simbolisme dalam sejarah sosial dan kebudayaan masyarakat. Simbol dalam perkembangan bisa terus memberikan daya hidup tapi juga bisa mati. Salah satu sebab matinya simbol adalah upaya memberikan tafsiran terhadap simbol yang tetap., terbatas dan tidak berubah. Simbol tidak dapat hidup dengan literalisme. Simbol yang terus hidup menyesuaikan, diselaraskan dan ditafsirkan kembali dalam konteks yang baru. Meski demikian, tercipta dan tampilnya simbol-simbol tetap sebuah hal yang misteri(*).

Rabu, 13 Februari 2008

Putri Cina

*Tentang Ingatan, Refleksi Kehidupan dan Harapan

Oleh F. Alkap Pasti

Manusia ini tak punya akar.
Dia diterbangkan ke mana-mana
Seperti debu yang berhamburan dijalanan...
Kita datang ke dunia ini sebagai saudara;
Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah?
Demikianlah, bagian pertama buku ini dibuka oleh sebuah sajak T’ao Ch’ien, sebuah sajak tua yang di tulis pada abad 4 Masehi. Baris terakhirnya menyiratkan gugatan atas perbedaan-perbedaan karena identitas yang di dasarkan pada daging dan darah. Dari baris ini saja, Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah?, sudah terbayangkan gugatan-gugatan apa yang akan menjadi isi utama Novel Putri Cina ini.

Selain itu, melihat judulnya Putri Cina, lalu keterangan awal bahwa cover luar buku ini diambil dari lukisan Hari Budiono yang berjudul Indonesia: Mei 1998. Novel ini langsung saja membawa kita sejak awal kepada kekisruhan huru hara Mei 1998, turunnya Soeharto sebagai presiden, berakhirnya masa pemerintahan yang disebut orang sebagai Orde Baru. Dan yang tragis, dalam huru hara itu—walau tidak cukup jelas diakui, terjadi pembakaran terhadap ruko, rumah tinggal bahkan juga perkosaan terhadap para perempuan Tionghoa.

Di tangan GP Sindhunata SJ, seorang penulis dan rohaniwan yang menguasai nilai-nilai kehidupan Cina dan juga filsafat kehidupan Jawa, buku ini adalah ramuan memikat tentang (politik) ingatan akan tragedi Mei 1998. Penulis karya sastra, yang karyanya Anak Bajang Menggiring Angin sudah menjadi klasik itu, juga menghadirkan refeksi kehidupan dari pihak dalam (kaum Tionghoa sendiri). Serta disisi lain, ia mengedepankan harapan-harapan untuk membangun kehidupan bersama yang harmonis.

Sebab, tulisnya:
Di dunia ini semua manusia sama, menanggung nasib yang sama, karena kita semua hanyalah debu, Cina dan Jawa sama-sama debunya. Mengapa kita masih bertanya, siapakah kita? Toh dengan dilahirkan di dunia, kita semua adalah saudara? (hal. 302)* * *

Dalam konteks apa yang pernah disampaikan penulis Ceko, Milan Kundera, novel Putri Cina ini dapat dimaknai sebagai usaha membangun ingatan untuk melawan lupa. Tragedi sejarah, seberapapun pahit, hendaknya didokumentasikan, ditulis dan diwariskan kepada generasi masa depan. Tragedi sejarah hendaknya tidak dilupakan, tapi diwariskan untuk dipelajari dan diambil maknanya.

Pencatatan terhadap tragedi bukan untuk mewariskan dendam, tetapi untuk belajar. Untuk mengenali diri, kelebihan dan kekurangan, maka kita sebagai sebuah komunitas dapat melihat dan memaknai masa lalu, untuk membangun jalan kehidupan ke depan yang lebih baik. Sejarah tak hanya kebesaran, tetapi juga kegagalan atau kesalahan-kesalahan. Yang terpenting adalah memahaminya, lalu mengambil pelajaran dari segala yang terjadi di masa lampau.

Dalam kaitan sejarah dan politik ingatan, George Santayana, seorang filsuf Spanyol, mengingatkan: those who cannot remember the past are condemned to repeat it. Yang tidak tahu sejarah cenderung melakukan kesalahan yang sama. Karena tidak tahu membuat kesalahan apa di masa lalu, tidak merasa perlu membuat perbaikan. Dengan memahami tragedi pahit di masa lalu, kita dituntut untuk belajar dan membangun persaudaraan dalam aroma manis persaudaraan dan kemanusiaan.

Dalam membangun keseluruhan isi novel ini, Sindhunata penulisnya membuat babakan yang melampaui ruang dan waktu. Pada hampir separuh bagian awal novel ini, diceritakan tentang (kesedihan) Putri Cina dalam konteks cerita babad Jawa. Ia mendasarkan pada cerita Babad Jaka Tingkir, di mana sebuah bagian bercerita tentang Jaka Prabangkara. Putri Cina pada bagian ini, adalah seorang perempuan, istri raja, yang bersedih dan diasingkan. Tetapi sebenarnya, dari rahimnyalah generasi keturunan di tanah Jawa bermula.

Jaka Prabangkara, inilah putra tampan dari Prabu Brawijaya dengan seorang janda. Ia dibuang dengan cara diterbangkan dengan layang-layang, dan selanjutnya akan jatuh di negeri Cina. Ia diterbangkan dengan layang-layang, yang talinya diputuskan, tetapi hanya untuk kelak tersambung lagi, ketika anak-cucu Jaka Prabangkara pulang dari negeri Cina ke Tanah Jawa. (hal. 17).

Atas dasar garis tak terputus dari cerita babad ini, gugatan itu kemudian muncul. Ternyata, Tanah Jawa bukan hanya tempat ia dan kaumnya berlabuh dari pengembaraannya, tapi juga tempat dari mana ia berasal. Jika demikian, mengapa Tanah Jawa seakan tak boleh dianggap tanah airnya, dan orang-orang Jawa tetap mengasingkannya, seakan ia bukan berasal dari tanah Jawa, sehingga sampai kini ia tidak punya tanah untuk mengakarkan dirinya? (hal. 22).

Membawa perenungan ini dalam keseharian kita, tentu kita tidak hanya menempatkan masalah perbedaan, gugatan dan harapan ini dalam konteks Cina dan Jawa saja. Tetapi juga menyentak kita semua, mungkin terhadap relasi dengan kaum Tionghoa tersebut dan juga sesama manusia. Sejarah memang mencatat banyak diskriminasi terhadap para keturunan Tionghoa ini: Jan Pieterzoon Con di tahun 1619 melakukannya dalam pembangunan Batavia, pembunuhan massal terhadap etnis Tionghoa di Batavia terjadi di tahun 1740, Pemisahan penduduk pribumi dan Tionghoa oleh Kolonialis Belanda, serta kerusuhan-kerusuhan bersentimen etnis di sepanjang tahun di negeri kita.

Ini artinya, masalah yang hadir adalah masalah kita semua. Masalah untuk menghargai yang lain sebagai saudara. Dalam konteks Putri Cina bagian awal ini, ia memang ditakdirkan hidup di tanah Jawa. Dimanakah lagi hidup dan mati ini harus ia alami dan pelajari, kalau bukan di Tanah Jawa ini? (hal 24). * * *

Menggugat dari Dalam
Selain gugatan-gugatan akan perlakuan dan diskriminasi pihak luar, katakan dalam novel ini diwakili oleh kuasa-kuasa masa lalu, atau oleh tokoh-tokoh semacam Prabu Amurco Sabdo, Patih Wrehonegoro atau Joyo Sumengah yang mengumbar nafsu ragawi laknat terhadap Giok Tien. Novel Putri Cina ini juga menggambarkan gugatan-gugatan dari dalam lingkungan kaum Tionghoa sendiri. Sebuah hal yang menampilkan refleksi nilai kehidupan dan kebersamaan yang ranum dan merdu.

Jangan-jangan, demikian refleksi Putri Cina pada bagian awal novel ini, kesederhanaan yang membuat kaumnya diterima semua golongan, menghadirkan tanah untuk berpijak, sudah hilang dan berganti keserakahan. Padahal, hanya dengan menjadi sederhana kau dapat menemukan dirimu? Dalam banyak dialog, gugatan-gugatan reflektif ini tampil secara bernas.
Lalu, muncul juga renungan: mengapa ia dan kaumnya selalu tergoda untuk mencari harta dan kekayaan yang berlebih-lebihan. Padahal, leluhurnya mengajarkan berulang-ulang, untuk menemukan tao. Jalan kebahagiaan itu, manusia tidak boleh terikat akan harta benda. (hal.13). Padahal, demikian renungan Putri Cina, sesungguhnya sifat orang adalah keseimbangan seperti yang disampaikan oleh Tao Yuan Ming: menikmati kebadanan dan tapi tak membenci kerohanian, menyenangi dunia tapi nafsunya tidak terlalu duniawi.

Dalam jalan pikiran Tao Yuan Ming, bagi orang Cina, jalan ke arah kebahagiaan adalah kesederhanaan. Tidak ada yang salah dalam mencari harta dan kekayaan, asal seperti kata K’ung Tzu, di rumah kau harus taat pada orang tua, di luar rumah kau harus menunjukkan hormat pada yang lebih tua, dan kau juga harus ramah dan cinta pada sesama. (hal. 79).

Catatan Penutup
Kupu-Kupu CintaMungkin bukan tanpa sengaja, pada bagian akhir Sindhunata mengedepankan pertobatan. Ratapan atau percakapan, atau bahkan pertobatan menjelang kematian merupakan sesuatu yang dramatis. Dan dari semua kepahitan itulah harapan baru hendak dibangunkan.Gurdo Paksi, seorang prajurit, dalam garis pribumi, jika ini boleh disebut, suami

Giok Tien yang mencintainya sesunguh-sungguhnya, bertobat dan menyesal. Gurdo Paksi mengakui, ia gagal melindungi mereka yang tak berdaya dan lemah. Ia terlalu memendam hasrat berkuasa dan menindas. Ia ingin lebih mencintai, dan karenanya ia bukan lagi Gurdo Paksi tapi Setyoko nama aslinya. Ia kemudian mati karena melindungi Giok Tien dari panah amarah dan beracun Joyo Sumengah. Joyo Sumengah cemburu karena juga memendam cinta bertahun-tahun kepada Putri Cina pemain ketoprak tersebut tak berbalas.

Alkisah, kemudian mayat Gurdo Paksi dan Giok Tien menjelma menjadi kupu-kupu. Itulah mereka, anak Cina dan Jawa, yang cintanya tak terpisah. Lalu mereka terbang ke utara, kupu-kupu itu bukan kupu-kupu Cina atau kupu-kupu Jawa. Kupu-kupu itu adalah kupu-kupu cinta yang mempersatukan mereka berdua, Cina dan Jawa (hal. 299). Bukankah, karena kelahiran kita di dunia ini, kita dipersaudarakan?

Di tangan GP. Sindhunata SJ, seorang penulis dan rohaniwan yang menguasai nilai-nilai Tionghoa dan juga filsafat Jawa tengang kehidupan, buku ini adalah ramuan memikat tentang (politik) ingatan akan tragedi, juga menghadirkan refleksi kehidupan dari pihak dalam (kaum Tionghoa sendiri). Serta di sisi lain, ia mengedepankan harapan-harapan untuk membangun kehidupan bersama yang harmonis. Sungguh, sebuah novel yang perlu dibaca.□

Data Buku:
Judul Buku : Putri Cina
Penulis : Sindhunata
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta
Terbit/Tebal : September 2007, 304 halaman.

*Penulis, peminat sastra. Tinggal di Ketapang, Kalimantan Barat.Kontributor untuk buku Identitas dan Poskolonialitas di Indonesia,Kanisius 2003. Tulisan ini pernah dimuat di Harian Borneo Tribune 6 Januari 2008.

Perkawinan Transnasional Gaya Kalbar

Presensi : F. Alkap Pasti

Judul Buku: Politik Perdagangan Perempuan
Penulis: Andy Yentriyani
Pengantar: Mely G. Tan
Penerbit: Galang Press, Yogyakarta Juli 2004
Tebal: 251 Halaman

Perkawinan lintas negara (transnasional), apalagi di zaman global seperti sekarang ini, mungkin sudah menjadi hal yang biasa. Belakangan ini semakin banyak saja orang Indonesia, baik yang kebanyakan maupun para selebriti, yang menikah dengan orang asing. Perbedaan negara bukanlah sebuah penghalang. Toh, kalau sudah jodoh, ibaratnya seperti kata pepatah asam di gunung garam di laut, bertemu juga dalam kuali (perkawinan).

Di Kalimantan Barat, khususnya Pontianak dan Singkawang perkawinan transnasional lintas negara ini juga banyak terjadi. Yakni antara para perempuan keturunan Tionghoa dengan para lelaki dari negeri seberang, yakni Taiwan. Jumlahnya pun tidak sedikit, sejak tahun 1992 rata-rata 1000 pasangan perempuan Kalbar yang menikah dengan lelaki Taiwan mengajukan izin untuk pindah ke Taiwan.

Lalu, apa masalahnya dengan perkawinan para perempuan keturunan Tionghoa di Kalimantan Barat dengan para lelaki dari negeri seberang Taiwan tersebut? adakah yang salah, bahwa asam di Taiwan dan garam di Kalimatan Barat itu bersatu dalam perkawinan? Hati-hati, demikian nada peringatan dalam buku ini. Sebab, demikian penulisnya, perkawinan transnasional lelaki Taiwan dan perempuan Tionghoa Kalimantan Barat tersebut bukanlah sebuah perkawinan yang sifatnya personal dan alamiah.

Perkawinan transnasional ini bisa saja terjadi hanya dalam 1 atau 2 kali pertemuan. Selain itu, ada keterpaksaan-keterpaksaan di dalamnya. Perkawinan transnasional tersebut adalah model perkawinan yang telah di tentukan (arranged married) dan dengan pihak perempuan menjadi pihak yang lemah dan subordinat. Ada wajah kapitalisme yang menjadi penyebab model perkawinan ini. Lebih jauh, penulis buku ini menyebutkan, bahwa perkawinan transnasional ala Kalimantan Barat ini adalah sebuah bentuk perdangangan perempuan (trafficking in women).

Alasan penulis, bahwa selain merupakan perkawinan yang telah ditentukan (perjodohan), banyak pihak yang terlibat dalam proses terjadinya perkawinan transnasional ini. Dengan memakai kajian gender, dan kapitalisme sebagai titik tolak kajian, penulis melihat perkawinan transnasional ini telah dimanfaatkan sebagai lahan bisnis oleh para perantara. Dan dalam perkembangannya, sesudah perkawinan ini terjadi maka pihak perempuan tetap berada di posisi sebordinat dalam tingkat relasi personal dengan pihak lelaki yang mepersuntingnya.

Ataupun tetap subordinat terhadap keluarga dan negaranya Indonesia, ataupun terhadap negara yang dituju yaitu Taiwan. Perkawinan yang menurut penulis berlangsung dengan logika supply dan demand ini, sebenarnya dilakukan oleh orang-orang yang tersisih dan sama-sama kalah sebenarnya. Karena model pembangunan yang kapitalis, maka banyaklah lelaki Taiwan yang tidak beruntung dalam pusaran industri negaranya. Mereka tetap bergelut dengan kemiskinan dan pertanian di perdesaan. Atau hanya menjadi pekerja serabutan industri seperti bekerja di bengkel atau menjadi buruh.

Mereka inilah yang dalam pasar perkawinan di negaranya Taiwan termasuk kelompok "laki-laki tanpa masa depan", yang sulit mendapat pasangan hidup karena biaya perkawinan yang tinggi. Sementara, di Kalimantan Barat, kondisi serupa terjadi. Model pembangunan kapitalis gaya Orde Baru tetap menyisakan kemiskinan bagi banyak rakyat. Dan Kalimantan Barat adalah wilayah dengan jumlah penduduk miskin cukup besar di Indonesia. Maka, banyaklah para keluarga Tionghoa- terutama dari kelompok Hakka di Pontianak dan Singkawang yang berada dalam jerat kemiskinan tersebut, dan mereka memiliki para anak gadis yang umumnya tidak berpendidikan tinggi.

Atas dasar saling membutuhkan, serta adanya kesamaan nilai-nilai kebudayaan, maka perkawinan antara lelaki tersisih Taiwan tersebut dengan pihak perempuan Tionghoa Kalimantan Barat dari keluarga kurang mampu berlangsung. Terjadi simbiose, lelaki Taiwan mendapatkan isteri (dengan proses dan pembiayaan yang lebih murah), sementara perempuan Tionghoa Kalimantan Barat (terutama keluarga) merasa dapat lepas dari jerat kemiskinan. Dan dalam proses tersebut, terlibatlah para perantara. Tugasnya mencari klien di Taiwan, kemudian menghubungi para keluarga dan perempuan yang bersedia menikah dan pindah ke Taiwan, serta menguruskan segala macam hal yang harus dilalui untuk sebuah perkawinan. Para perantara ini mendapatkan fee setiap sebuah perkawinan terjadi. Nilai-nilai budaya bahwa anak perempuan harus berbakti kepada keluarga dan orang tua, semakin menguatkan terjadinya perkawinan.

Dari data yang dikumpulkan buku ini dari tahun 1992-1999, rata-rata terjadi perkawinan seribuan pasangan pengantin transnasional Indonesia- Taiwan ini. Apakah negara peduli dengan perkawinan transnasional ini? Mohon maklum, sampai saat ini belum. Pendokumentasian perkawinan transnasional ini buruk, tidak menganggap perkawinan ini sebagai hal yang salah, juga tidak ada perhatian lebih lanjut berupa kesepakatan antar Indonesia - Taiwan menyangkut nasib dan kondisi para perempuan warga negara Indonesia tersebut, terutama dalam masa 3 tahun sebelum mendapatkan kewarganegaraan Taiwan. Buku ini secara umum berhasil membuat kajian kritis tentang keberadaan perempuan dalam konteks perkawinan lintas negara.

Kekurangannya, mungkin pada perdebatan teoretis istilah perdangangan perempuan versus perkawinan, juga pada tidak terungkapnya sejarah awal perkawinan lintas negara tersebut. padahal, dengan mengetahui sejarah awal perkawinan ini, maka kesimpulan tentang terjadinya perdagangan perempuan dalam perkawinan transnasional ini akan semakin kuat.

*Penulis adalah Direktur Ketapang Institute. Tulisan ini pernah dimuat di Pontianak Post, Minggu, 17 Oktober 2004

Sawit : Harapan atau Bencana?

Oleh F Alkap Pasti

Tulisan Syarif Ibrahim Alqadrie (SIA) berjudul Otonomi Daerah dan Peranan Perkebunan Kelapa Sawit di Harian AP Post 4 Juli 2000 menarik untuk dicermati, paling tidak karena dua alasan. Pertama, hasil penelitian tersebut dimuat dalam sebuah media massa, dan dibaca semua orang. Dalam dunia komunikasi, penyebarluasan informasi selalu mempunyai agenda-agenda tersendiri di baliknya. Perlu tampilan kenyataan lain, sehingga publik tidak mendapat informasi satu arah saja.

Alasan ke dua, tiga kesimpulan (positif) yang ditarik SIA dari penelitiannya perlu untuk dikritisi. Penelitian SIA tampaknya hanya menampilkan wajah positif perkebunan kelapa sawit. Padahal, kenyataan lapangan menunjukkan banyak sekali masalah (negatif!) mendasar yang sangat perlu untuk diketahui publik. Jadi bukan hanya masalah meningkatnya penghasilan negara dan daerah, lapangan kerja, SDM , tapi juga masalah kerusakan lingkungan dan kemanusiaan. Bukan faktor langsung sawit Tulisan berikut, meski dengan memakai pengamatan dari lokasi yang berbeda, SIA di PTPN XIII Sanggau dan penulis di Ketapang, ingin melihat sisi lain dari keberadaan perkebunan kelapa sawit tersebut.

Ini untuk mengingat (!) kan publik pembaca budiman, bahwa pemikiran seorang peneliti sekalipun perlu untuk dikritisi. (Di Ketapang, seorang dari perusahaan perkebunan menunjukkan tulisan tersebut kepada penulis : "Ni, penelitian seorang professorpun mendukung perkebunan kepala sawit"). Kesimpulan umum yang ditarik SIA dari penelitiannya adalah : meningkatnya kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam menyediakan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Indikator pertama: tingkat/angka rata-rata harapan hidup meningkat. Kesimpulan tersebut terkesan logis. Tapi yang perlu dipertanyakan, apakah peningkatan tersebut adalah hasil sumbangan faktor langsung dari perkebunan kepala sawit?

Keraguan muncul terhadap kesimpulan ini, karena jika dibandingkan tahun 1970-an, kehidupan masyarakat Indonesia mengalami perbaikan. Kesimpulan ke dua: tingkat kematian bayi (infant mortality) menurun. Masalahnya, sama dengan penelitian nomor satu. Apakah perkebunan sawit adalah penyumbang langsung terhadap penurunan angka kematian bayi ? Keraguan ini, sekali lagi, muncul karena di semua tempat di Indonesia (ada atau tidak perkebunan sawit)angka kematian bayi menurun. Saya menduga, meningkatnya angka harapan hidup dan menurunnya angka kematian bayi salah satunya adalah karena semakin baik dan menyeluruhnya pelayanan kesehatan kepada publik.

Kesimpulan ke tiga, (meningkatnya) kepemilikan atas sejumlah materi, juga patut dipertanyakan. Di hampir semua tempat, termasuk di pedalaman yang tidak ada perkebunan kelapa sawit, kepemilikan materi masyarakat mengalami peningkatan. Ada perbaikan tempat tinggal ,ada pembelian sarana transportasi dan juga pemilikan barang-barang mewah. Masalah-masalah mendasar Perkebunan kelapa sawit yang dinilai positif oleh syarif Ibrahim Alqadrie, di Ketapang menunjukkan wajah sebaliknya.

(Pembukaan) Perkebunan sawit sebagian besar adalah pengambilalihan tanah rakyat dengan janji manis, tipu daya dan (beberapa) intimidasi aparat. Pengambilalihan tanah adalah ancaman kehidupan, karena masyarakat memiliki budaya pertanian. Kehilangan tanah adalah kematian tidak lagi pelan-pelan kebudayaan dan adat istiadat masyarakat setempat. Untuk sementara dari data-data awal yang dikumpulkan perkebunan kelapa sawit di Ketapang belum memberikan bukti nyata untuk perbaikan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Yang terjadi adalah : rakyat yang kehilangan tanah, komunitas yang kehilangan kebudayaan, buruh-buruh yang dibayar di bawah upah minimun ( dan tidak setiap bulan), rakyat lokal yang menyerahkan (diambil) tanahnya tapi belum mendapatkan hak-haknya seperti ketentuan dalam perkebunan sawit. Kaji ulang, di bagian akhir tulisannya, Sarif I Alqadri menulis : aparatur pemerintah dan tokoh masyarakat seharusnya lebih berperan sebagai motivator, dinamisator, inspirator masyarakat dan agent of development, bukan sebagai provokator.

Menarik, pemikiran seorang SIA di bagian ini. Hanya saja, "development" yang bagaimanakah yang harus diinspirasikan kepada masyarakat ? Dari kenyataan yang ada, khususnya menyangkut perkebunan sawit di Kabupaten Ketapang, perlu bagi pemerintah dan semua pihak terkait untuk mengkaji ulang keberadaan dan pelaksanaan perkebunan kelapa sawit. Kehilangan tanah sumber hidup, kehilangan jati diri dan kebudayaan, keterdeakan dan ketertindasan tanpa antisipasi sejak dini bisa menimbulkan bahaya sosial yang tinggi. Yang dapat dilaksanakan adalah penghentian perluasan perkebunan di sekitar kampung-kampung penduduk, pembenahan dan pemenuhan hak-hak masyarakat yang diabaikan perusahaan, pemberlakuan pola yang memberikan manfaat kepada masyarakat lokal.

*Penulis, Eksekutif Komisi Justice and Peace Ketapang, Koordinator Sawit Watch Ketapan. Tulisan ini pernah dimuat di Pontianak Post, 1 Agustus 2000.

Meninjau Ulang Arah Pembangunan dan Pemberdayaan

Oleh: F Alkap Pasti

Arti manusiawi pembangunan, demikian David C Korten ditemukan pada kontribusinya pada pengaktualisasian secara penuh potensi kehidupan manusia. Mencapai standar ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan pokok adalah hal yang fundamental dan esensial. Tetapi kehidupan manusia tidak hanya berada dalam ruang ekonomi semata. Basic need kehidupan manusia juga meliputi rasa aman, penghargaan, cinta, penghargaan produktif keanggotaan dalam suatu komunitas, dan juga spiritual.

Setelah pembangunan dijalankan hampir 40 tahun, seperti yang katakan Wolfgang Sach, pembangunan dan malah keberhasilannya sendiri telah menyebabkan 2 krisis besar. Yakni krisis yang menyebabkan kerusakan sumber daya alam, dan krisis keadilan. Terdapat kehidupan yang timpang di mana sedikit orang menikmati hasil pembangunan sementara banyak orang masih terlilit dalam kondisi kemiskinan. Dalam bahasa Soedjatmoko, pembangunan yang dilaksanakan tetap menyisakan penderitaan yang tidak dapat diterima, terjadi kelaparan serta membesarnya jurang kaya miskin. Di seluruh dunia, ratusan juta orang masih berada pada penderitaan dan kondisi hidup yang memprihatinkan.

Model pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi sebagai paradigma telah gagal membuat kehidupan umat manusia menjadi lebih baik. Penekanan manusia sebagai homo economicus telah mengakibatkan krisis dan eksploitasi terhadap sumberdaya alam. Pembangunanisme mengalami krisis, seperti yang terjadi di Indonesia diamana negara mengalami krisis utang luar negeri, kegagalan lembaga politik modern, semakin berkurangnya partisipasi masyarakat dan munculnya sikap resistensi terhadap pembangunan, dan munculunya fundamentalisme agama sebagai akibat hancurnya tradisi budaya mereka.

Berkaitan dengan pembangunan masyarakat desa, masalah ini tetap menjadi perbincangan yang penting dan menarik. Dua hal dapat dikemukakan berkaitan dengan hal ini. Pertama, meski pembangunan masyarakat desa telah dilakukan sejak lama namun mesti diakui keberhasilan yang dicapai belum memuaskan, untuk tidak menyebut gagal. Pembangunan masyarakat desa telah dilakukan sejak 1970-an, namun persoalan kemiskinan tetap menjadi masalah besar di pedesaan.

Dengan jumlah penduduk yang 2/3 tinggal di pedesaan, ini berarti kemiskinan tetap menjadi masalah masyarakat di desa. Selain itu, kesenjangan desa kota tetap saja tajam, proporsi angkatan kerja yang belum dimanfaatkan secara penuh lebih besar di desa daripada di kota. Persoalan kemiskinan ini tidak dapat diabaikan karena dapat memicu kekecewaan, dan menyebabkan konflik yang dapat membuat kerusakan rekatan social (social bound). Yang utama masalah ini harus diatasi adalah untuk pengembangan maksimal potensi manusiawi dan penghargaan keberadaan nilai-nilai kemanusiaan.

Berkaitan dengan keberhasilan manusiawi pembangun yang terdiri dari aspek-aspek: ekonomi, rasa aman, personality, spiritual, cinta serta harmoni dengan alam, serta di sisi lain kegagalan model pembangunan yang terpusat selama Orde Baru, perlu diadakan reorientasi model pembangunan masyarakat. Ketika pembangunan dengan penekanan pada modernisasi telah gagal dan membuat kehancuran ekologis, mengesampingkan nilai kebersamaan dan kemanusiaan, model pembangunan alternative yang memadukan unsur keterkaitan antara alam, aspek sosio-ekonomis dan kultur perlu dipertimbangkan.

Sejak Januari tahun 2001 di Indonesia diberlakukan UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Dalam konteks ini, ada ruang yang sangat besar untuk melakukan proses pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Masalahnya adalah, lah sejauh mana pemerintah (pusat maupun daerah) menyadari perubahan perannya ini, dan kemudian melakukan langkah-langkah strategis untuk mewujudkannya dan menjadi pemerintah yang lebih efisien, efektif dan partisipatif.

Buku tulisan Prof Gunawan Sumodiningrat ini, mencoba menjelaskan secara ringkas program-program pembangunan yang pernah dijalankan pemerintah dalam upaya mengatasi kemiskinan. Di bagian awal, Gunawan memberikan pengantar yang cukup menarik tentang konteks pembangunan di Indonesia, terutama berkaitan masalah krisiss ekonomi dan persoalan kemiskinan yang belum terselesaikan.

Selanjutnya, Guru besar ekonomi di UGM Yogyakarta ini juga menjelaskan secara singkat beberapa teori pembangunan, yaitu growth priority, growth with distribution, appropriate technology, community development, sustainable development, dan yang terakhir empowerment. Tetapi, dalam penjabaran teori-teori ini, Gunawan hanya mengkaitkan teori pertama dan kedua dalam konteks Indonesia.

Dalam buku ini juga diberikan analisa terhadap beberapa program pembangunan di Indonesia, misalnya program IDT, P2KP, PPK, P3DT dll. Juga pada bagian ini ditampilkan kritik terhadap kebijakan prioritas pembangunan pemerintah saat itu. Terutama, terkait dengan sasaran yang tidak tepat, dan pelaksanaan program yang belum komprehensif.

Berkaitan prioritas pembangunan, ada tiga hal yang ditawarkan Gunawan. Pertama, pemerintah perlu membangun mekanisme yang bersahabat dengan pasar (market friendly mechanism) yang dilakukan dengan semangat keterbukaan, transparan, kebersamaan, dan adil. Semua pelaku pasar adalah rakyat.

Prioritas pembangunan kedua ialah adanya pemberdayaan (meningkatkan kemampuan atau kemandirian masyarakat) melalui penciptaan iklim yang kondusif, memberikan pelatihan, pemberian dana, pembangunan sarana dan lain lain, dan melindungi yang lemah. Selanjutnya, proses pembangunan harus berorientasi pada perubahan struktur dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat di daerah.

Bagaimanapun, persoalan kemiskinan selalu berkait erat dengan persoalan struktural. Karenanya, masalah perubahan struktur perlu dijadikan hasil dari seluruh proses pembangunan nasional.

Terhadap ketiga prioritas pembangunan tersebut, penulis mengusulkan beberapa kebijakan pembangunan yang dikategorikan menjadi kebijakan internal dan eksternal. Di antaranya, peningkatan akses pengusaha kecil atas modal dan meningkat kualitas sumberdaya manusia di pedesaan. Di sisi lain, pemerintah harus membuka akses masyarakat miskin kepada wilayah lain, dan ini dapat dilakukan dengan memperkuat ekonomi wilayah dan pembangunan infrastruktur.

Secara umum, buku ini sangat memang menarik untuk dibaca, terutama oleh mereka yang terlibat dalam proses pembangunan, baik dari pemerintah, sektor swasta, maupun organisasi masyarakat sipil. Paparan dalam buku ini dapat memberikan referensi bagi para pelaku pembangunan di daerah maupun nasional. Yakni untuk tidak lagi mengulangi, atau setidaknya mengurangi, kesalahan-kesalahan pembangunan di masa lalu.

Data Buku:
Judul Buku : Pemberdayaan Sosial: Kajian Ringkas Tentang Pembangunan Manusia Indonesia
Penulis : Gunawan SumodiningratPenerbit : Penerbit Buku KOMPASTahun Terbit : Agustus 2007Tebal : 144 halaman.

*Peresensi, mendalami Sosiologi PembangunanDi Sekolah Pascasarjana FISIPOL UGM Yogyakarta. Naskah ini pernah dimuat di Harian Borneo Tribune 13 Januari 2007