Sabtu, 16 Februari 2008

MEMAHAMI MAKNA DAN KUASA SIMBOL

Judul Buku : Daya Kekuatan Simbol (The Power of Symbols)
Penulis : F.W Dillistone
Penerjemah : A. Widyamartaya
Penerbit : Kanisius Yogyakarta
Terbit : 2002, 236 halaman.


Manusia adalah animal symbolicum, demikian Professor Ernst Cassirer, yang menulis seri buku The Phylospohy of Symbolic Forms. Gerak kehidupan kebudayaan, menurutnya, tidak terlepas dari eksistensi simbol dan pemaknaan terhadapnya. Dalam perkembangannya hampir tidak mungkin masyarakat ada tanpa simbol-simbol—katakanlah bahasa, penunjuk jalan, lambang-lambang kebangsaan, partai, warna dan yang lain. Simbol karenanya menjadi entitas yang sangat penting dalam berbagai bidang ilmu, filsafat, sosiologi, kesenian dan bahkan budaya massa mutakhir
Keberadaan simbol tampil luar biasa sejak dahulu sampai sekarang. Di masa lalu. Ia menjadi bagian yang terpisahkan dari relasi manusia dengan keberadaan Yang Maha. Hari-hari ini, simbol telah menjadi istilah yang berkali-kali diungkapkan dan digunakan hampir begitu saja dalam dunia iklan, berita, pidato politik, prakiraann cuaca dan analisa ekonomi.
Keberadaan simbol serta kuasa yang dihadirkannya, serta penggunaannya yang makin luas belakangan, telah mendorong F.W Dillistone menulis buku Daya Kekuatan Simbol (The Power of Symbols) ini, yang terbit pertama kali tahun 1986. Penjelajahan dilakukannya terhadap karya Cassirer, The Phylosophy of Symbolic Forms, Paul Tillich, Four Quartets- nya TS Elliot dan beberapa penulis lain untuk memahami: apa itu symbol, bagaimana symbol berfungsi, bagaimana hubungan antara perasaan, bentuk, referen?
Buku ini terdiri dari tiga bahasan utama. Bagian pertama (terdiri 3 bab) mendiskuskian keberadaan simbol, serta masing-masing maknanya secara harfiah dan simbolis, serta menampilkan beberapa contoh bentuk-bentuk simbolis.
Keberadaan simbol berkaitan erat dengan kohesi sosial dan transformasi sosial. Salah satu sistem simbol yang penting adalah bahasa manusia. Namun para antropolog sosial juga telah mengajarkan kepada kita tentang gerak-gerik, penanda lain, dan juga gerak tubuih sebagai hal-hal yang mempunyai arti simbolis. (Ketika dalam sebuah sidang istimewa yang ‘mengadili’ presiden, seorang wakil presiden duduk menyamping seolah membelakangi presiden, sebuah pesan simbolis disampaikan dan dimaknai media dan umum: bahwa sang wakil telah ‘meninggalkan’ sang presiden).
Bahasan tentang makna simbol juga menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan tubuh, makanan, tanah, pakaian, terang dan gelap, api dan air serta darah dan kurban. Darah adalah fenomena menarik sebuah simbol yang menjadi jembatan kehidupan dan kematian. Semacam, perjuangan dan pembelaan yang terakhir, yang dalam kasus kita pernah diungkapkan misalnya lewat dukungan tanda tangan darah.
Selain menjelaskan gerak horizontal masyarakat, simbol juga berhubungan erat dengan kekuasaan dan atau Sang Pernguasa. Kasus pengibaran bendera Bintang Kejora (Papua), atau bendera RMS, baru-baru ini menunjukkan bagaimana symbol-simbol dimainkan dengan segala makna dan kuasanya. Atas nama simbol, tidak jarang orang rela mengorbankan dirinya. Lebih jauh, dalam hubungannya dengan Yang Maha, simbol—dalam bahasa Louis Macreice, adalah suatu “tanda tangan imanensi Allah”.
Dalam menghadirkan dirinya, simbol tidak terlepas dari gerak kehidupan manusia. Hanya saja. sebuah simbol melebihi tanda lahir dan terlihat arbriter untuk sebuah konsepsi yang abstrak, nilainya yang tinggi terletak dalam suatu substansi bersama ide yang disampaikan. Simbol memiliki maknanya sendiri, nilainya sendiri dan kemampuannya sendiri untuk memggerakkan kita. Daya kekuatan simbol adalah pada sifatnya yang emotif, yang merangsang orang untuk bertindak sebagai ciri hakikinya.

Menariknya, sebuah simbol memberikan ruang terbuka bagi publik untuk pemaknaanya. Berbeda dengan totaliarisme, simbol memerlukan keterbukaan-keterbukan penafsiran, dan karenanya menunjuk kepada kemungkinan-kemungkinan alternatif. Ia memberikan ruang bagi penafsiran-penafsiran, kekebebasan dan keterbukaan. Ungkapan-ungkapan simbolis pada dasarnya adalah jalan bagi manusia untuk menuju kekebasan berdaya cipta.
Bagain kedua mengulas secara menarik beberapa teori simbolisme yang menampilkan bahasan para ahli antropologi antropologi social, yakni Raymond Firth, Mary Douglas, Victor Turnerr dan Clifford Geerzt. Bahasan bagian ini juga dilengkapi dengan bahasan para filsouf, teolog dan sejarawan bentuk-bentuk agama, terutama yang berkaitan dengan agama Kristen.
Bagian ketiga membahas perjalanan simbolisme dalam sejarah sosial dan kebudayaan masyarakat. Simbol dalam perkembangan bisa terus memberikan daya hidup tapi juga bisa mati. Salah satu sebab matinya simbol adalah upaya memberikan tafsiran terhadap simbol yang tetap., terbatas dan tidak berubah. Simbol tidak dapat hidup dengan literalisme. Simbol yang terus hidup menyesuaikan, diselaraskan dan ditafsirkan kembali dalam konteks yang baru. Meski demikian, tercipta dan tampilnya simbol-simbol tetap sebuah hal yang misteri(*).

Tidak ada komentar: