Rabu, 13 Februari 2008

Sawit : Harapan atau Bencana?

Oleh F Alkap Pasti

Tulisan Syarif Ibrahim Alqadrie (SIA) berjudul Otonomi Daerah dan Peranan Perkebunan Kelapa Sawit di Harian AP Post 4 Juli 2000 menarik untuk dicermati, paling tidak karena dua alasan. Pertama, hasil penelitian tersebut dimuat dalam sebuah media massa, dan dibaca semua orang. Dalam dunia komunikasi, penyebarluasan informasi selalu mempunyai agenda-agenda tersendiri di baliknya. Perlu tampilan kenyataan lain, sehingga publik tidak mendapat informasi satu arah saja.

Alasan ke dua, tiga kesimpulan (positif) yang ditarik SIA dari penelitiannya perlu untuk dikritisi. Penelitian SIA tampaknya hanya menampilkan wajah positif perkebunan kelapa sawit. Padahal, kenyataan lapangan menunjukkan banyak sekali masalah (negatif!) mendasar yang sangat perlu untuk diketahui publik. Jadi bukan hanya masalah meningkatnya penghasilan negara dan daerah, lapangan kerja, SDM , tapi juga masalah kerusakan lingkungan dan kemanusiaan. Bukan faktor langsung sawit Tulisan berikut, meski dengan memakai pengamatan dari lokasi yang berbeda, SIA di PTPN XIII Sanggau dan penulis di Ketapang, ingin melihat sisi lain dari keberadaan perkebunan kelapa sawit tersebut.

Ini untuk mengingat (!) kan publik pembaca budiman, bahwa pemikiran seorang peneliti sekalipun perlu untuk dikritisi. (Di Ketapang, seorang dari perusahaan perkebunan menunjukkan tulisan tersebut kepada penulis : "Ni, penelitian seorang professorpun mendukung perkebunan kepala sawit"). Kesimpulan umum yang ditarik SIA dari penelitiannya adalah : meningkatnya kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam menyediakan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Indikator pertama: tingkat/angka rata-rata harapan hidup meningkat. Kesimpulan tersebut terkesan logis. Tapi yang perlu dipertanyakan, apakah peningkatan tersebut adalah hasil sumbangan faktor langsung dari perkebunan kepala sawit?

Keraguan muncul terhadap kesimpulan ini, karena jika dibandingkan tahun 1970-an, kehidupan masyarakat Indonesia mengalami perbaikan. Kesimpulan ke dua: tingkat kematian bayi (infant mortality) menurun. Masalahnya, sama dengan penelitian nomor satu. Apakah perkebunan sawit adalah penyumbang langsung terhadap penurunan angka kematian bayi ? Keraguan ini, sekali lagi, muncul karena di semua tempat di Indonesia (ada atau tidak perkebunan sawit)angka kematian bayi menurun. Saya menduga, meningkatnya angka harapan hidup dan menurunnya angka kematian bayi salah satunya adalah karena semakin baik dan menyeluruhnya pelayanan kesehatan kepada publik.

Kesimpulan ke tiga, (meningkatnya) kepemilikan atas sejumlah materi, juga patut dipertanyakan. Di hampir semua tempat, termasuk di pedalaman yang tidak ada perkebunan kelapa sawit, kepemilikan materi masyarakat mengalami peningkatan. Ada perbaikan tempat tinggal ,ada pembelian sarana transportasi dan juga pemilikan barang-barang mewah. Masalah-masalah mendasar Perkebunan kelapa sawit yang dinilai positif oleh syarif Ibrahim Alqadrie, di Ketapang menunjukkan wajah sebaliknya.

(Pembukaan) Perkebunan sawit sebagian besar adalah pengambilalihan tanah rakyat dengan janji manis, tipu daya dan (beberapa) intimidasi aparat. Pengambilalihan tanah adalah ancaman kehidupan, karena masyarakat memiliki budaya pertanian. Kehilangan tanah adalah kematian tidak lagi pelan-pelan kebudayaan dan adat istiadat masyarakat setempat. Untuk sementara dari data-data awal yang dikumpulkan perkebunan kelapa sawit di Ketapang belum memberikan bukti nyata untuk perbaikan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Yang terjadi adalah : rakyat yang kehilangan tanah, komunitas yang kehilangan kebudayaan, buruh-buruh yang dibayar di bawah upah minimun ( dan tidak setiap bulan), rakyat lokal yang menyerahkan (diambil) tanahnya tapi belum mendapatkan hak-haknya seperti ketentuan dalam perkebunan sawit. Kaji ulang, di bagian akhir tulisannya, Sarif I Alqadri menulis : aparatur pemerintah dan tokoh masyarakat seharusnya lebih berperan sebagai motivator, dinamisator, inspirator masyarakat dan agent of development, bukan sebagai provokator.

Menarik, pemikiran seorang SIA di bagian ini. Hanya saja, "development" yang bagaimanakah yang harus diinspirasikan kepada masyarakat ? Dari kenyataan yang ada, khususnya menyangkut perkebunan sawit di Kabupaten Ketapang, perlu bagi pemerintah dan semua pihak terkait untuk mengkaji ulang keberadaan dan pelaksanaan perkebunan kelapa sawit. Kehilangan tanah sumber hidup, kehilangan jati diri dan kebudayaan, keterdeakan dan ketertindasan tanpa antisipasi sejak dini bisa menimbulkan bahaya sosial yang tinggi. Yang dapat dilaksanakan adalah penghentian perluasan perkebunan di sekitar kampung-kampung penduduk, pembenahan dan pemenuhan hak-hak masyarakat yang diabaikan perusahaan, pemberlakuan pola yang memberikan manfaat kepada masyarakat lokal.

*Penulis, Eksekutif Komisi Justice and Peace Ketapang, Koordinator Sawit Watch Ketapan. Tulisan ini pernah dimuat di Pontianak Post, 1 Agustus 2000.

Tidak ada komentar: