Judul Buku: Politik Perdagangan Perempuan
Penulis: Andy Yentriyani
Pengantar: Mely G. Tan
Penerbit: Galang Press, Yogyakarta Juli 2004
Tebal: 251 Halaman
Perkawinan lintas negara (transnasional), apalagi di zaman global seperti sekarang ini, mungkin sudah menjadi hal yang biasa. Belakangan ini semakin banyak saja orang Indonesia, baik yang kebanyakan maupun para selebriti, yang menikah dengan orang asing. Perbedaan negara bukanlah sebuah penghalang. Toh, kalau sudah jodoh, ibaratnya seperti kata pepatah asam di gunung garam di laut, bertemu juga dalam kuali (perkawinan).
Di Kalimantan Barat, khususnya Pontianak dan Singkawang perkawinan transnasional lintas negara ini juga banyak terjadi. Yakni antara para perempuan keturunan Tionghoa dengan para lelaki dari negeri seberang, yakni Taiwan. Jumlahnya pun tidak sedikit, sejak tahun 1992 rata-rata 1000 pasangan perempuan Kalbar yang menikah dengan lelaki Taiwan mengajukan izin untuk pindah ke Taiwan.
Lalu, apa masalahnya dengan perkawinan para perempuan keturunan Tionghoa di Kalimantan Barat dengan para lelaki dari negeri seberang Taiwan tersebut? adakah yang salah, bahwa asam di Taiwan dan garam di Kalimatan Barat itu bersatu dalam perkawinan? Hati-hati, demikian nada peringatan dalam buku ini. Sebab, demikian penulisnya, perkawinan transnasional lelaki Taiwan dan perempuan Tionghoa Kalimantan Barat tersebut bukanlah sebuah perkawinan yang sifatnya personal dan alamiah.
Perkawinan transnasional ini bisa saja terjadi hanya dalam 1 atau 2 kali pertemuan. Selain itu, ada keterpaksaan-keterpaksaan di dalamnya. Perkawinan transnasional tersebut adalah model perkawinan yang telah di tentukan (arranged married) dan dengan pihak perempuan menjadi pihak yang lemah dan subordinat. Ada wajah kapitalisme yang menjadi penyebab model perkawinan ini. Lebih jauh, penulis buku ini menyebutkan, bahwa perkawinan transnasional ala Kalimantan Barat ini adalah sebuah bentuk perdangangan perempuan (trafficking in women).
Alasan penulis, bahwa selain merupakan perkawinan yang telah ditentukan (perjodohan), banyak pihak yang terlibat dalam proses terjadinya perkawinan transnasional ini. Dengan memakai kajian gender, dan kapitalisme sebagai titik tolak kajian, penulis melihat perkawinan transnasional ini telah dimanfaatkan sebagai lahan bisnis oleh para perantara. Dan dalam perkembangannya, sesudah perkawinan ini terjadi maka pihak perempuan tetap berada di posisi sebordinat dalam tingkat relasi personal dengan pihak lelaki yang mepersuntingnya.
Ataupun tetap subordinat terhadap keluarga dan negaranya Indonesia, ataupun terhadap negara yang dituju yaitu Taiwan. Perkawinan yang menurut penulis berlangsung dengan logika supply dan demand ini, sebenarnya dilakukan oleh orang-orang yang tersisih dan sama-sama kalah sebenarnya. Karena model pembangunan yang kapitalis, maka banyaklah lelaki Taiwan yang tidak beruntung dalam pusaran industri negaranya. Mereka tetap bergelut dengan kemiskinan dan pertanian di perdesaan. Atau hanya menjadi pekerja serabutan industri seperti bekerja di bengkel atau menjadi buruh.
Mereka inilah yang dalam pasar perkawinan di negaranya Taiwan termasuk kelompok "laki-laki tanpa masa depan", yang sulit mendapat pasangan hidup karena biaya perkawinan yang tinggi. Sementara, di Kalimantan Barat, kondisi serupa terjadi. Model pembangunan kapitalis gaya Orde Baru tetap menyisakan kemiskinan bagi banyak rakyat. Dan Kalimantan Barat adalah wilayah dengan jumlah penduduk miskin cukup besar di Indonesia. Maka, banyaklah para keluarga Tionghoa- terutama dari kelompok Hakka di Pontianak dan Singkawang yang berada dalam jerat kemiskinan tersebut, dan mereka memiliki para anak gadis yang umumnya tidak berpendidikan tinggi.
Atas dasar saling membutuhkan, serta adanya kesamaan nilai-nilai kebudayaan, maka perkawinan antara lelaki tersisih Taiwan tersebut dengan pihak perempuan Tionghoa Kalimantan Barat dari keluarga kurang mampu berlangsung. Terjadi simbiose, lelaki Taiwan mendapatkan isteri (dengan proses dan pembiayaan yang lebih murah), sementara perempuan Tionghoa Kalimantan Barat (terutama keluarga) merasa dapat lepas dari jerat kemiskinan. Dan dalam proses tersebut, terlibatlah para perantara. Tugasnya mencari klien di Taiwan, kemudian menghubungi para keluarga dan perempuan yang bersedia menikah dan pindah ke Taiwan, serta menguruskan segala macam hal yang harus dilalui untuk sebuah perkawinan. Para perantara ini mendapatkan fee setiap sebuah perkawinan terjadi. Nilai-nilai budaya bahwa anak perempuan harus berbakti kepada keluarga dan orang tua, semakin menguatkan terjadinya perkawinan.
Dari data yang dikumpulkan buku ini dari tahun 1992-1999, rata-rata terjadi perkawinan seribuan pasangan pengantin transnasional Indonesia- Taiwan ini. Apakah negara peduli dengan perkawinan transnasional ini? Mohon maklum, sampai saat ini belum. Pendokumentasian perkawinan transnasional ini buruk, tidak menganggap perkawinan ini sebagai hal yang salah, juga tidak ada perhatian lebih lanjut berupa kesepakatan antar Indonesia - Taiwan menyangkut nasib dan kondisi para perempuan warga negara Indonesia tersebut, terutama dalam masa 3 tahun sebelum mendapatkan kewarganegaraan Taiwan. Buku ini secara umum berhasil membuat kajian kritis tentang keberadaan perempuan dalam konteks perkawinan lintas negara.
Kekurangannya, mungkin pada perdebatan teoretis istilah perdangangan perempuan versus perkawinan, juga pada tidak terungkapnya sejarah awal perkawinan lintas negara tersebut. padahal, dengan mengetahui sejarah awal perkawinan ini, maka kesimpulan tentang terjadinya perdagangan perempuan dalam perkawinan transnasional ini akan semakin kuat.
*Penulis adalah Direktur Ketapang Institute. Tulisan ini pernah dimuat di Pontianak Post, Minggu, 17 Oktober 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar