Rabu, 13 Februari 2008

Putri Cina

*Tentang Ingatan, Refleksi Kehidupan dan Harapan

Oleh F. Alkap Pasti

Manusia ini tak punya akar.
Dia diterbangkan ke mana-mana
Seperti debu yang berhamburan dijalanan...
Kita datang ke dunia ini sebagai saudara;
Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah?
Demikianlah, bagian pertama buku ini dibuka oleh sebuah sajak T’ao Ch’ien, sebuah sajak tua yang di tulis pada abad 4 Masehi. Baris terakhirnya menyiratkan gugatan atas perbedaan-perbedaan karena identitas yang di dasarkan pada daging dan darah. Dari baris ini saja, Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah?, sudah terbayangkan gugatan-gugatan apa yang akan menjadi isi utama Novel Putri Cina ini.

Selain itu, melihat judulnya Putri Cina, lalu keterangan awal bahwa cover luar buku ini diambil dari lukisan Hari Budiono yang berjudul Indonesia: Mei 1998. Novel ini langsung saja membawa kita sejak awal kepada kekisruhan huru hara Mei 1998, turunnya Soeharto sebagai presiden, berakhirnya masa pemerintahan yang disebut orang sebagai Orde Baru. Dan yang tragis, dalam huru hara itu—walau tidak cukup jelas diakui, terjadi pembakaran terhadap ruko, rumah tinggal bahkan juga perkosaan terhadap para perempuan Tionghoa.

Di tangan GP Sindhunata SJ, seorang penulis dan rohaniwan yang menguasai nilai-nilai kehidupan Cina dan juga filsafat kehidupan Jawa, buku ini adalah ramuan memikat tentang (politik) ingatan akan tragedi Mei 1998. Penulis karya sastra, yang karyanya Anak Bajang Menggiring Angin sudah menjadi klasik itu, juga menghadirkan refeksi kehidupan dari pihak dalam (kaum Tionghoa sendiri). Serta disisi lain, ia mengedepankan harapan-harapan untuk membangun kehidupan bersama yang harmonis.

Sebab, tulisnya:
Di dunia ini semua manusia sama, menanggung nasib yang sama, karena kita semua hanyalah debu, Cina dan Jawa sama-sama debunya. Mengapa kita masih bertanya, siapakah kita? Toh dengan dilahirkan di dunia, kita semua adalah saudara? (hal. 302)* * *

Dalam konteks apa yang pernah disampaikan penulis Ceko, Milan Kundera, novel Putri Cina ini dapat dimaknai sebagai usaha membangun ingatan untuk melawan lupa. Tragedi sejarah, seberapapun pahit, hendaknya didokumentasikan, ditulis dan diwariskan kepada generasi masa depan. Tragedi sejarah hendaknya tidak dilupakan, tapi diwariskan untuk dipelajari dan diambil maknanya.

Pencatatan terhadap tragedi bukan untuk mewariskan dendam, tetapi untuk belajar. Untuk mengenali diri, kelebihan dan kekurangan, maka kita sebagai sebuah komunitas dapat melihat dan memaknai masa lalu, untuk membangun jalan kehidupan ke depan yang lebih baik. Sejarah tak hanya kebesaran, tetapi juga kegagalan atau kesalahan-kesalahan. Yang terpenting adalah memahaminya, lalu mengambil pelajaran dari segala yang terjadi di masa lampau.

Dalam kaitan sejarah dan politik ingatan, George Santayana, seorang filsuf Spanyol, mengingatkan: those who cannot remember the past are condemned to repeat it. Yang tidak tahu sejarah cenderung melakukan kesalahan yang sama. Karena tidak tahu membuat kesalahan apa di masa lalu, tidak merasa perlu membuat perbaikan. Dengan memahami tragedi pahit di masa lalu, kita dituntut untuk belajar dan membangun persaudaraan dalam aroma manis persaudaraan dan kemanusiaan.

Dalam membangun keseluruhan isi novel ini, Sindhunata penulisnya membuat babakan yang melampaui ruang dan waktu. Pada hampir separuh bagian awal novel ini, diceritakan tentang (kesedihan) Putri Cina dalam konteks cerita babad Jawa. Ia mendasarkan pada cerita Babad Jaka Tingkir, di mana sebuah bagian bercerita tentang Jaka Prabangkara. Putri Cina pada bagian ini, adalah seorang perempuan, istri raja, yang bersedih dan diasingkan. Tetapi sebenarnya, dari rahimnyalah generasi keturunan di tanah Jawa bermula.

Jaka Prabangkara, inilah putra tampan dari Prabu Brawijaya dengan seorang janda. Ia dibuang dengan cara diterbangkan dengan layang-layang, dan selanjutnya akan jatuh di negeri Cina. Ia diterbangkan dengan layang-layang, yang talinya diputuskan, tetapi hanya untuk kelak tersambung lagi, ketika anak-cucu Jaka Prabangkara pulang dari negeri Cina ke Tanah Jawa. (hal. 17).

Atas dasar garis tak terputus dari cerita babad ini, gugatan itu kemudian muncul. Ternyata, Tanah Jawa bukan hanya tempat ia dan kaumnya berlabuh dari pengembaraannya, tapi juga tempat dari mana ia berasal. Jika demikian, mengapa Tanah Jawa seakan tak boleh dianggap tanah airnya, dan orang-orang Jawa tetap mengasingkannya, seakan ia bukan berasal dari tanah Jawa, sehingga sampai kini ia tidak punya tanah untuk mengakarkan dirinya? (hal. 22).

Membawa perenungan ini dalam keseharian kita, tentu kita tidak hanya menempatkan masalah perbedaan, gugatan dan harapan ini dalam konteks Cina dan Jawa saja. Tetapi juga menyentak kita semua, mungkin terhadap relasi dengan kaum Tionghoa tersebut dan juga sesama manusia. Sejarah memang mencatat banyak diskriminasi terhadap para keturunan Tionghoa ini: Jan Pieterzoon Con di tahun 1619 melakukannya dalam pembangunan Batavia, pembunuhan massal terhadap etnis Tionghoa di Batavia terjadi di tahun 1740, Pemisahan penduduk pribumi dan Tionghoa oleh Kolonialis Belanda, serta kerusuhan-kerusuhan bersentimen etnis di sepanjang tahun di negeri kita.

Ini artinya, masalah yang hadir adalah masalah kita semua. Masalah untuk menghargai yang lain sebagai saudara. Dalam konteks Putri Cina bagian awal ini, ia memang ditakdirkan hidup di tanah Jawa. Dimanakah lagi hidup dan mati ini harus ia alami dan pelajari, kalau bukan di Tanah Jawa ini? (hal 24). * * *

Menggugat dari Dalam
Selain gugatan-gugatan akan perlakuan dan diskriminasi pihak luar, katakan dalam novel ini diwakili oleh kuasa-kuasa masa lalu, atau oleh tokoh-tokoh semacam Prabu Amurco Sabdo, Patih Wrehonegoro atau Joyo Sumengah yang mengumbar nafsu ragawi laknat terhadap Giok Tien. Novel Putri Cina ini juga menggambarkan gugatan-gugatan dari dalam lingkungan kaum Tionghoa sendiri. Sebuah hal yang menampilkan refleksi nilai kehidupan dan kebersamaan yang ranum dan merdu.

Jangan-jangan, demikian refleksi Putri Cina pada bagian awal novel ini, kesederhanaan yang membuat kaumnya diterima semua golongan, menghadirkan tanah untuk berpijak, sudah hilang dan berganti keserakahan. Padahal, hanya dengan menjadi sederhana kau dapat menemukan dirimu? Dalam banyak dialog, gugatan-gugatan reflektif ini tampil secara bernas.
Lalu, muncul juga renungan: mengapa ia dan kaumnya selalu tergoda untuk mencari harta dan kekayaan yang berlebih-lebihan. Padahal, leluhurnya mengajarkan berulang-ulang, untuk menemukan tao. Jalan kebahagiaan itu, manusia tidak boleh terikat akan harta benda. (hal.13). Padahal, demikian renungan Putri Cina, sesungguhnya sifat orang adalah keseimbangan seperti yang disampaikan oleh Tao Yuan Ming: menikmati kebadanan dan tapi tak membenci kerohanian, menyenangi dunia tapi nafsunya tidak terlalu duniawi.

Dalam jalan pikiran Tao Yuan Ming, bagi orang Cina, jalan ke arah kebahagiaan adalah kesederhanaan. Tidak ada yang salah dalam mencari harta dan kekayaan, asal seperti kata K’ung Tzu, di rumah kau harus taat pada orang tua, di luar rumah kau harus menunjukkan hormat pada yang lebih tua, dan kau juga harus ramah dan cinta pada sesama. (hal. 79).

Catatan Penutup
Kupu-Kupu CintaMungkin bukan tanpa sengaja, pada bagian akhir Sindhunata mengedepankan pertobatan. Ratapan atau percakapan, atau bahkan pertobatan menjelang kematian merupakan sesuatu yang dramatis. Dan dari semua kepahitan itulah harapan baru hendak dibangunkan.Gurdo Paksi, seorang prajurit, dalam garis pribumi, jika ini boleh disebut, suami

Giok Tien yang mencintainya sesunguh-sungguhnya, bertobat dan menyesal. Gurdo Paksi mengakui, ia gagal melindungi mereka yang tak berdaya dan lemah. Ia terlalu memendam hasrat berkuasa dan menindas. Ia ingin lebih mencintai, dan karenanya ia bukan lagi Gurdo Paksi tapi Setyoko nama aslinya. Ia kemudian mati karena melindungi Giok Tien dari panah amarah dan beracun Joyo Sumengah. Joyo Sumengah cemburu karena juga memendam cinta bertahun-tahun kepada Putri Cina pemain ketoprak tersebut tak berbalas.

Alkisah, kemudian mayat Gurdo Paksi dan Giok Tien menjelma menjadi kupu-kupu. Itulah mereka, anak Cina dan Jawa, yang cintanya tak terpisah. Lalu mereka terbang ke utara, kupu-kupu itu bukan kupu-kupu Cina atau kupu-kupu Jawa. Kupu-kupu itu adalah kupu-kupu cinta yang mempersatukan mereka berdua, Cina dan Jawa (hal. 299). Bukankah, karena kelahiran kita di dunia ini, kita dipersaudarakan?

Di tangan GP. Sindhunata SJ, seorang penulis dan rohaniwan yang menguasai nilai-nilai Tionghoa dan juga filsafat Jawa tengang kehidupan, buku ini adalah ramuan memikat tentang (politik) ingatan akan tragedi, juga menghadirkan refleksi kehidupan dari pihak dalam (kaum Tionghoa sendiri). Serta di sisi lain, ia mengedepankan harapan-harapan untuk membangun kehidupan bersama yang harmonis. Sungguh, sebuah novel yang perlu dibaca.□

Data Buku:
Judul Buku : Putri Cina
Penulis : Sindhunata
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta
Terbit/Tebal : September 2007, 304 halaman.

*Penulis, peminat sastra. Tinggal di Ketapang, Kalimantan Barat.Kontributor untuk buku Identitas dan Poskolonialitas di Indonesia,Kanisius 2003. Tulisan ini pernah dimuat di Harian Borneo Tribune 6 Januari 2008.

Tidak ada komentar: